
(YOGYAKARTA)- Sidang lanjutan kasus perbuatan melawan hukum antara Adler Yenprastawa sebagai penggugat terhadap Bank Perkreditan Rakyat ( BPR ) di Sewon sebagai tergugat yang seharusnya digelar Kamis ( 11/9/2025) ditunda karena tidak ada satu pun perwakilan dari pihak tergugat hadir. Sehingga PN Bantul memutuskan menunda sidang yang diagendakan memerika keterangan saksi.
Kasus perbuatan melawan hukum ini berawal ketika tiga orang dari BPR yang ada di Sewon mendatangi Adler nasabah BPR tersebut untuk menanyakan perihal pembayaran cicilan pinjaman. Kedatangan dua orang dari BPR ini dilakukan pada malam hari diluar jam kantor atau diluar jam kunjungan yang telah ditentukan dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang perlindungan konsumen dan masyarakat di sektor jasa keuangan.
Salah satu isi dari POJK tersebut soal kunjungan ke rumah nasabah. Kunjungan dilakukan mulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00. Jika kunjungan dilakukan diluar jam tersebut maka harus ada perjanjian dulu dengan nasabah. Namun waktu itu perwakilan dari BPR melakukan kunjungan hampir pukul 21.00 tanpa ada janjian terlebih dahulu dengan nasabah. Selain itu, perwakilan BPR telah melakukan pengambilan foto nasabah dan anaknya yang masih dibawah umur tanpa izin.
“Kasus ini bermula saat kedatangan dua orang perwakilan BPR pada 28 April lalu tanpa melalui perjanjian dan di luar jam kerja ke rumah saya. Mereka ingin memastikan pembayaran angsuran yang terlambat di bulan tersebut,” kata Andler saat ditemui di kantor PN Bantul Kamis (11/9/ 2025).
Sebelum kedatangan kedua orang tersebut, Adler menyatakan dirinya sudah melakukan komunikasi internal dengan penyelia di internal BPR dan akan melakukan pembayaran angsuran di akhir bulan.
Namun tanpa sepengetahuan Adler, salah satu perwakilan kemudian mengambil gambar diam-diam tanpa izin dirinya. Padahal saat itu dirinya tengah memangku anak lelakinya yang masih di bawah umur.
“Info pertama kali foto saya bersama anak diambil tanpa izin melalui orang dalam BPR. Saya terkejut dan tidak terima karena urusan saya dengan BPR tidak berkaitan dengan anak saya,” lanjut Adler.
Dalam gugatannya ke PN Bantul, Adler menyatakan BPR yang beralamatkan di Sewon itu menyalahi ketentuan yang tertera dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang perlindungan konsumen dan masyarakat di sektor jasa keuangan.
Dimana salah satu poinnya mengatur jam kunjungan pihak sektor jasa keuangan yang dibatasi dari jam 8-20 WIB di hari kerja.
Karena merasa harga dirinya terancam, serta mengklaim proses konfirmasinya itu menyalahi aturan POJK 22/2023, dia pun mengajukan gugatan dan menuntut pihak tergugat sebesar Rp50 miliar atas kerugian immaterial.
“Kalau tuntutan saya, ya, sesuai di gugatan jadi kalau kerugian material kan memang saya nggak ada, tapi immaterialnya kan saya merasa diancam, foto anak saya tersebar, siapa yang mau menjamin? Saya menuntut Rp50 miliar untuk kerugian itu,” terang dia.
Meski melakukan gugatan terhadap BPR tersebut, sebagai nasabah Adler mengaku masih terus melakukan pembayaran angsuran sesuai dengan kewajibannya. Dirinya sebelum menggugat telah melaporkan kasus ini ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Adler menambahkan sejak sidang pertama yang dimulai Juni lalu, pihak tergugat tidak pernah hadir dalam persidangan. Termasuk sidang perdata yang ketujuh kemarin dengan agenda pemeriksaan saksi sehingga harus ditunda karena dari pihak tergugat tidak hadir di persidangan.
Sementara itu kuasa hukum Adler, Kennedy Hasudungan Manihuruk mengatakan sebelum mengajukan gugatan, Adler konsultasi terlebih dahulu.
“Sebelum ajukan gugatan, Pak Adler konsultasi ke saya. Oh, ya, sudah ada unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Namun kita tidak langsung gugat tapi kita adukan dulu ke OJK,” kata Kuasa Hukum Adler, Kennedy Hasudungan Manihuruk.
Kennedy menambahkan masyarakat harus tahu bahwa kunjungan dari bank ke nasabah untuk penagihan telah diatur dalan POJK 22/ 2023.
“Intinya pasal 62 POJK 22/2023 itu jelas dari ayat pasal 1 dan ayat-ayat besertanya itu, jam berkunjung orang itu sudah diatur, dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam di hari kerja. Cuma masyarakat jarang yang tahu,” ungkapnya.
Hal lain yang menurutnya menjadi perhatian, bahwa perwakilan BPR memotret klien yang sedang dengan anak dari kliennya tanpa izin.
Selain gugatan perdata, lanjut Kennedy, pihaknya juga berencana untuk melakukan pelaporan atas dugaan adanya unsur pidana. ( Sts )
Sementara itu Ketua Perbarindo DIY, Wulfram Margono, mengatakan praktik penagihan utang di lingkungan BPR harus mengacu pada aturan OJK yang menekankan pendekatan humanis. Hal ini disampaikannya merespons keluhan nasabah BPR di Sewon yang mengaku didatangi petugas penagih tanpa pemberitahuan, meski sebelumnya sudah berkomunikasi untuk penundaan pembayaran.
“Perbarindo hanya menjadi wadah asosiasi sehingga tidak bisa ikut campur dalam teknis penagihan tiap BPR. Aturan perlindungan konsumen sudah jelas ditetapkan OJK dan berlaku untuk seluruh BPR. Karena sudah aturan OJK, otomatis semua BPR harus melaksanakan,” tandasnya.
Meski demikian, ia mengakui kondisi di lapangan kerap berbeda dan bisa mempengaruhi cara petugas melakukan penagihan. Kendati begitu, Wulfram menekankan pentingnya setiap BPR memastikan penagihan tetap sesuai aturan dan mengedepankan etika agar tidak merugikan nasabah. (ras)